√ Labor Petanian Organik Sumpur Kudus, Hasilkan Padi 7.7 Ton Per Hektar
Kabartani.com – Matahari mulai bertolak dari cakrawala. Pukul 09.00, menjelang siang, para petani telah siap dengan sabit di tangan. Hari itu, 30 Oktober 2018, sebuah kelompok tani di Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, hendak melaksanakan Panen Raya.
Ada yang berbeda dengan panen raya kali ini, kata Nurhatimi, salah seorang anggota kelompok. “Kami pada masa ke sawah yang kini menguji coba pertanian padi organik.” ujar wanita yang mengaku telah bertani selama 35 tahun itu.
Kelompok Sekolah Lapangan Pertanian Organik Sumpur Kudus dibuat sekitar tiga bulan lalu, dengan pendampingan oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI Warsi) dan PPO Perkumpulan Petani Organik Sari Alam nan Tigo atau PPO Santiago yang bermarkas di Kabupaten Solok.
Perkumpulan ini dibuat tahun 2007, dikala itu mereka berguru menanam padi organik dari jadwal penanaman padi sabatang dari Dinas Pertanian, begitu kata Hesriyaldi, ketua PPO Santiago.
Setelah diperlihatkan sebuah teladan atas praktek pertanian organik oleh PPO Santiago, kesadaran sejumlah petani di Sumpur Kudus muncul. Kesadaran yang akan melawan arus praktik pertanian yang selama berpuluh tahun belakangan mereka lakukan.
Intensifikasi pertanian digalakkan rezim orde gres tahun 1980-an, masyarakat Sumpur Kudus, dan petani-petani lain di daerah manapun mewarisi ketergantungan dengan pupuk kimia dan pemakaian pestisida. Untuk satu hekter sawah, petani membutuhkan 150 kilogram Urea per masa tanam.
Untuk mendapat satu karung pupuk atau 50 kilogram petani harus mengeluarkan uang Rp 140.000. Dengan dikalikan tiga, untuk satu hektar saja petani harus mengeluarkan biaya pemupukan Rp 420.000. Belum lagi pengeluaran untuk penyemprotan hama. Tapi kini mereka tak membutuhkan itu lagi.
40 orang petani di Sumpur Kudus menciptakan kesepakatan bersama untuk menerapkan sistem pertanian organik. Komitmen tersebut tertuang di spanduk kain putih besar yang dibubuhi tanda tangan dan terpampang di depan posko Sekolah Lapangan mereka.
Tepatnya selemparan kerikil dari sehektar sawah organik yang akan digarap. Di laboratorium pertanian organik itu, kedepan dan seterusnya, mereka akan belajar, meneliti, dan membuatkan cara-cara pertanian yang tidak merusak alam.
“Kami murni menggunakan semua sumber daya lokal, bahan-bahan yang kami dapatkan dari lingkungan sekitar, tanpa menggunakan materi kimia untuk padi yang kami tanam,” kata Aprisal, yang dipilih secara musyawarah sebagai ketua kelompok.
Tiap ahad ia dan anggota kelompoknya melaksanakan pengamatan terhadap pertumbuhan padi. Ada beberapa pengujian yang dilakukan, ibarat uji ketahanan air, pembandingan tekstur tanah, mengamati perkembangan ekosistem sawah, dan menciptakan ekstrak ramuan nabati dari sumber daya lokal untuk mengusir hama.
Uji ketahanan air dilakukan terhadap lumpur sawah dengan aneka macam materi campuran. Petani menciptakan beberapa sampel. Ada padi yang ditanam di lumpur sawah murni, ada lumpur dicampurkan dengan jerami, ada adonan kotoran hewan, ampas kelapa, bubuk kayu, kulit coklat dan sebagainya.
Kemudian juga dilakukan uji coba unsur hara terhadap bahan-bahan yang dicampur lumpur sawah tersebut. Alat sederhana untuk mengukur nutrisi tanah yakni dengan bola lampu yang nanti kabelnya dicelupkan ke dalam sampel-sampel itu.
Petani menggunakan sebuah paralon sebagai pegangan dan bola lampu tersebut disalurkan ke fatwa listrik. Sampel yang bisa menciptakan bola lampu menyala terperinci berarti mengandung unsur hara yang tinggi.
Sampai disini petani menemukan fakta bahwa jerami yang tidak dibakarlah yang paling besar lengan berkuasa dalam ketahanan air. Sedang unsur hara tertinggi dimiliki oleh adonan lumpur sawah dengan kotoran sapi.
Dari pengamatan rutin tiap minggu, ekosistem sawah makin bertambah semenjak bahan-bahan kimia di lingkungan sawah dihilangkan. Lubang belut bermunculan, kecebong nampak kesana kemari, siput-siput berjalan santai. Esktrak nabati dari daun-daunan yang berbau menyengat cukup ampuh juga cukup ampuh untuk mengusir untuk hama tanaman.
Dan kelebihannya, ramuan nabati itu cuma mengusir hama padi, tidak membunuhnya ibarat yang dilakukan oleh zat kimia. “Bukankah hewan-hewan itu juga makhluk Tuhan juga, kenapa kita bunuh?” lanjut Aprisal.
Dengan suksesnya panen raya pertama padi organik di Sumpur Kudus ini, Kelompok Sekolah Lapangan melaksanakan perhidungan sanggup menghasilkan 7.5 ton per hektar dengan sistem ini. Selanjutnya mereka menargetkan paling tidak akan menerapkan sistem pertanian organik di 12 hektar sawah tahun depan.
Alam ini bukan warisan dari nenek moyang, tapi hutang kita pada anak cucu, begitu petuah orang-orang lama. KKI Warsi, sebuah NGO yang mempunyai konsen kelestarian sumber daya alam, telah mendampingi sumpur kudus semenjak 2015.
“Banyak dilema konservasi di Sumpur Kudus” kata Yudi Fernandes, fasilitator KKI Warsi di lapangan.
“Ekonomi masyarakat yang sulit, menciptakan maraknya penebangan liar di hutan sekitar,” lanjutnya.
Dengan menggalakkan sistem pertanian organik, yang tidak membutuhkan biaya tinggi sehingga penghasilan petani sanggup ditingkatkan, dengan ekonomi yang cukup masyarakat tidak perlu menebang kayu lagi di hutan.
Sebelumnya dengan metode pemupukan kimia, petani di Sumpur Kudus menghasilkan 4 ton padi per hektar. Sekarang sistem pertanian organik mereka sanggup membuahkan padi 7.7 ton per hektarnya.
Simak juga:
- Bahan Penyubur Tanah dalam Budidaya Pertanian Organik
- Pembuatan Pupuk Organik dari Limbah Ternak Sapi
- Penerapan Teknologi Sawah Apung (Floating Field) Kawasan Banjir
Ditulis oleh: Alek Karci Kurniawan
Alumni Indef School of Political Economy
Koto Tangah, Padang
Telp: +62 853 5084 0686
Sumber https://kabartani.com