Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

√ 4 Teladan Puisi Septima Dalam Bahasa Indonesia

Konten [Tampil]

Puisi gres merupakan puisi yang muncul sesudah adanya efek sastra barat ke Indonesia. Salah satu diantara jenis-jenis puisi baru tersebut yaitu septima. Puisi ini merupakan puisi yang tiap baitnya berisi 7 buah baris atau larik. Puisi ini tergolong ke dalam macam-macam puisi gres menurut bentuknya, selain contoh puisi distikon, contoh puisi terzina, contoh puisi quatrain, contoh puisi quint, dan juga contoh puisi sektet. Untuk mengetahui menyerupai apa bentuk puisi ini, berikut ditampilkan beberapa pola puisi septima dalam bahasa Indonesia yang diambil dari banyak sekali sumber!


Contoh 1:


Indonesia Tumpah Darahku*

Karya: M. Yamin


Bersatu kita teguh

Bercerai kita jatuh


Duduk di pantai tanah yang permai

Tempat gelombang pecah berderai

Berbuih putih di pasir terderai

Tampaklah pulau di lautan hijau

Gunung-gunung anggun rupanya

Dilingkari air mulia tampaknya

Tumoah darahku Indonesia namanya


Lihatlah kelapa melambai-lambai

Berdesir bunyinya sesayup sampai

Tumbuh di pantai bercerai-cerai

Memagar daratan kondusif kelihatan

Dengarlah ombak tiba berlagu

Mengejar bumi ayah dan ibu

Indonesia namanya, tanah airku


Tanahku bercerai seberang-menyeberang

Merapung di air, malam dan siang

Sebagai telaga dihiasi kiambang

Sejak malam diberi kelam

Sampai bulan terang-benderang

Di sanalah gerangan bangsaku gerangan menopang

Selama berteduh di alam nan lapang


Tumpah darah nusa India

Dalam hatiku selalu mulia

Dijunjung tinggi atas kepala

Semenjak diri lahir ke bumi

Sampai bercerai tubuh dan nyawa

Karena kita sedarah sebangsa

Bertanah air di Indonesia


*Sumber: Dan Riris Istanti, Puisi: Indonesia, Tumpah Darahku, https://danririsbastind.wordpress.com/2010/03/16/puisi-indonesia-tumpah-darahku-m-yamin/ (diakses pada 8 Februari 2018 pukul 17.13)


Contoh 2:


Bayi di Dalam Kulkas*

Karya: Joko Pinurbo


Bayi di dalam kulkas bisa

mendengarkan pasang-surutnya angin,

bisu-kelunya malam, dan kuncup layunya

bunga-bunga di dalam taman.

Dan setiap orang yang mendengar tangisnya

mengatakan, “Akulah Ibumu. Aku ingin

menggigil dan membeku bersamamu.”


“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”

“Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang

ke langit, ke bintang-bintang, ke cakrawala,

ke detik penciptaan berssama angin

dan awan dan hujan dan kenangan.”

“Aku ikut. Jemputlah aku. Bayi.

Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”


……………………………………


(1995)


*Sumber: Joko Pinurbo, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, hlm 12


Contoh 3:


Sudah Saatnya*

Karya: Joko Pinurbo


Sudah saatnya jam yang rusak diperbaiki.

Kita pergi ke bengkel jam dan kepada pak tua

yang andal menyembuhkan jam kita meminta,

“Tolong ya betulkan jam pikun ini. Jarumnya

sering maju mundur, bunyinya suka ngawur.”

Semoga tukang bikin betul jam tahu bahwa ia

sedang berurusan dengan penggemar waktu


*


Sudah saatnya kita periksakan mata.

Kepada doter mata kita bertanya,

“Ada apa ya dengan mata saya, kok sering

terbalik: tidak melihat yang kelihatan,

malah melihat yang tak kelihatan?”

Mudah-mudahan dokter mata paham, ya,

memang begitulah bila mata dipejamkan.


………………………………….


(2003)


*Sumber: Ibid, hlm 102.


Contoh 4:


Pasien*

Karya: Joko Pinurbo


Seperti pasien keluar masuk rumah sakit jiwa,

kau rajin keluar masuk telepon genggam,

melacak jejak bunyi tak dikenal yang mengajakmu

kencan di kuburan pada malam purnama:

Aku pakai celana merah. Lekas datang, ya.

Kutengok ranjangmu: tubuhmu sedang membeku

menjadi telepon genggam raksasa.


(2006)


*Sumber: Ibid, hlm 141.


Demikianlah beberapa pola puisi septima dalam bahasa Indonesia. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan bagi para pembaca sekalian, baik itu mengenai puisi khususnya, maupun bahasa Indonesia pada umumnya. Sekian dan terima kasih.



Sumber aciknadzirah.blogspot.com