√ Pola Esai Sastra Dalam Bahasa Indonesia
Esai merupakan salah satu diantara jenis-jenis karangan semi ilmiah dalam khazanah bahasa Indonesia. Selain itu, esai juga tergolong ke dalam salah satu di antara jenis-jenis prosa non fiksi dan juga jenis-jenis prosa baru. Pembahasan soal esai sendiri sudah dilakukan di beberapa artikel yang lalu, mulai dari jenis-jenis esai, struktur esai yang baik, sampai cara menciptakan esai yang benar.
Khusus untuk artikel kali ini, kita akan mengetahui menyerupai apa teladan dari esai itu sendiri. Contoh esai yang ditampilkan pada artikel kali ini yaitu salah satu dari bentuk esai, yaitu: esai sastra. Seperti namanya, esai sastra merupakan esai yang berisi tema seputar sastra. Biasanya, esai ini ditulis oleh para pegiat sastra, entah itu akademisi sastra, kritikus sastra, atau sastrawan itu sendiri. Adapun teladan dari esai sastra tersebut yaitu sebagai berikut ini!
Santri dan Sastra*
Karya: Bandung Mawardi
Gus Dur pernah menciptakan esai ringkas yang berjudul “Pesantren dalam Kesusasteraan Bahasa Indonesia”, dimuat di Kompas edisi 26 November 1973. Gus Dur kesulitan mengajukan teks-teks sastra modern di Indonesia yang bercerita perihal kehidupan di pesantren. Ketokohan kiyai dan santri masih jarang digarap sebagai pengisahan apik oleh para pengarang. Gus Dur cuma bisa memastikan pengarang “bermazhab” pesantren yaitu Djamil Suherman. Gus Dur sudah mengajukan nama, tapi tak memberi klarifikasi atau apresiasi atas teks-teks serta garapan Djamil Suherman. Di alinea awal, Gus Dur menulis: “Sebagai objek sastra, pesantren boleh dikata belum memperoleh perhatian dari para sastrawan kira, padahal berbagai di antara mereka yang telah mengenyam kehidupan pesantren. Hanya Djamil Suherman yang pernah melaksanakan penggarapan di bidang ini, dalam serangkaian dongeng pendek di tahun-tahun lima puluhan dan enam puluhan.
Gus Dur tak berniat memajangkan goresan pena itu sehabis puluhan tahun berlalu. esai itu terkesan dibiarkan saja tanpa lanjutan. Kalimat-kalimat itu ditulis Gus Dur jauh sebelum kemunculan novel Perempuan Berkalung Sorban (2001), dan Geni Jora (2004) garapan Abidah el Khaleqy. Gus Dur juga tak perlu membahas novel Negeri 5 Menara (2009) garapan Ahmad Fuadi. Sebab, di halaman awal novel, Ahmad Fuadi telah memberi kesan perihal kepesantrenan: “Novel ini terinsiprasi oleh pengalaman penulis menikmati pendidikan yang mencerahkan di Pondok Pesantren Fontor. Semua tokoh utama terinspirasi dari sosok asli, beberapa lagi yaitu adonan dari beberapa abjad yang sebenarnya.” Novel itu laku di pasar. Para santri termakan untuk membaca dan melaksanakan proses semaian identitas bersama arus sastra pesantren. Zaman telah berubah. Kalimat-kalimat lawas dari Gus Dur bisa “disanggah” dengan menambahi keterangan atau pengajuan ide-ide lanjutan.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Demikianlah teladan esai sastra dalam bahasa Indonesia. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan bagi para pembaca sekalian, baik itu mengenai esai khususnya, maupun bahasa Indonesia pada umumnya. Mohon dimaafkan pula kalau terdapat kekeliruan di dalam artikel kali ini.
Jika pembaca ingin menambah rujukan soal karangan semi ilmiah dan prosa, maka pembaca bisa membuka beberapa artikel berikut, yaitu: contoh tajuk planning singkat, contoh resensi buku pelajaran, contoh resensi buku cerpen, contoh cerpen singkat beserta strukturnya, contoh novel terjemahan, contoh sinopsis film, serta contoh sinopsis buku kumpulan puisi.
Sekian dan juga terima kasih.
*Dikutip dari majalah sastra Horison edisi Desember 2015 (dengan sedikit perubahan). Contoh ini hanyalah separuh atau sebagian kecil dari teks aslinya.
Sumber aciknadzirah.blogspot.com