Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

√ Ketaatan Istri Terhadap Suami

Konten [Tampil]
KETA'ATAN ISTRI TERHADAP SUAMI

 Ketahuilah bahwa seorang suami ialah pemimpin di dalam rumah tangga √ KETAATAN ISTRI TERHADAP SUAMI
HAK SUAMI YANG HARUS DIPENUHI ISTERI
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ketahuilah bahwa seorang suami ialah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya, alasannya Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi pria yang lebih besar daripada wanita, alasannya dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Dan Allah Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), alasannya Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan alasannya mereka (laki-laki) telah menawarkan nafkah dan hartanya.” [An-Nisaa’ : 34]
Oleh alasannya itu, suami mempunyai hak atas isterinya yang harus senantiasa dipelihara, ditaati dan ditunaikan oleh isteri dengan baik yang dengan itu ia akan masuk Surga.
Masing-masing dari suami maupun isteri mempunyai hak dan kewajiban, namun suami mempunyai kelebihan atas isterinya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan mereka (para wanita) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya berdasarkan cara yang pantas. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Al-Baqarah : 228]
1. Ketaatan Isteri Kepada Suaminya
Setelah wali atau orang renta sang isteri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhi, sehabis kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
Seandainya saya boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka saya akan perintahkan seorang perempuan sujud kepada suaminya.” [1]
Sujud merupakan bentuk ketundukan sehingga hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa suami mendapat hak terbesar atas ketaatan isteri kepadanya. Sedangkan kata: “Seandainya saya boleh…,” memperlihatkan bahwa sujud kepada insan tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.
Sang isteri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf (mengandung kebaikan dalam agama). Misalnya ketika diajak untuk jima’ (bersetubuh), diperintahkan untuk shalat, berpuasa, shadaqah, mengenakan busana muslimah (jilbab yang syar’i), menghadiri majelis ilmu, dan bentuk-bentuk perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at. Hal inilah yang justru akan mendatangkan Surga bagi dirinya, ibarat sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, pasti ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” [2]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda perihal sifat perempuan penghuni Surga,
وَنِسَاؤُكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ: اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا؛ اَلَّتِي إِذَا غَضِبَ جَائَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِيْ يَدِ زَوْجِهَا وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوْقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى
“Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga ialah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan banyak kembali (setia) kepada suaminya yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata, ‘Aku tidak sanggup tidur nyenyak sampai engkau ridha.’” [3]
Dikisahkan pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang perempuan yang tiba dan mengadukan perlakuan suaminya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari Hushain bin Mihshan, sebetulnya saudara perempuan dari bapaknya (yaitu bibinya) pernah mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam alasannya ada suatu keperluan. Setelah ia menuntaskan keperluannya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah bersuami?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana sikapmu kepada suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi (haknya) kecuali yang saya tidak bisa mengerjakannya.”
Maka, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ.
“Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya alasannya suamimu (merupakan) Surgamu dan Nerakamu.” [4]
Hadits ini menggambarkan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memperhatikan hak suami yang harus dipenuhi isterinya alasannya suami ialah Surga dan Neraka bagi isteri. Apabila isteri taat kepada suami, maka ia akan masuk Surga, tetapi jikalau ia mengabaikan hak suami, tidak taat kepada suami, maka sanggup mengakibatkan isteri terjatuh ke dalam jurang Neraka. Nasalullaahas salaamah wal ‘aafiyah.
Bahkan, dalam problem berafiliasi suami isteri pun, jikalau sang isteri menolak permintaan suaminya, maka ia akan dilaknat oleh Malaikat, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ (فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا) لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke kawasan tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si isteri menolaknya [sehingga (membuat) suaminya murka], maka si isteri akan dilaknat oleh Malaikat sampai (waktu) Shubuh.” [5]
Dalam riwayat lain (Muslim) disebutkan: “sehingga ia kembali”. Dan dalam riwayat lain (Ahmad dan Muslim) disebutkan: “sehingga suaminya ridha kepadanya”.
Yang dimaksud “hingga kembali” yaitu sampai ia bertaubat dari perbuatan itu. [6]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّى الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّّهَا حَتَّى تُؤَدِّى حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
“Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang perempuan tidak akan bisa menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (isteri) tetap tidak boleh menolak.” [7]
Dalam aliran Islam, seorang isteri dihentikan berpuasa sunnat kecuali dengan izin suaminya, apabila suami berada di rumahnya (tidak safar). Berdasarkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَصُمِ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنْ فِيْ بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ.
“Tidak boleh seorang perempuan puasa (sunnat) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan harta dari perjuangan suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya ialah untuk suaminya.” [8]
Dalam hadits ini ada tiga faedah:
1. Dilarang puasa sunnat kecuali dengan izin suami.
2. Tidak boleh mengizinkan orang lain masuk kecuali dengan izin suami.
3. Apabila seorang isteri infaq/shadaqah hendaknya dengan izin suami.
Dalam hadits ini seorang isteri dihentikan puasa sunnat tanpa izin dari suami. Larangan ini ialah larangan haram, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullaah.
Imam an-Nawawi berkata, “Hal ini alasannya suami mempunyai hak untuk “bersenang-senang” dengan isterinya setiap hari. Hak suami ini sekaligus merupakan kewajiban seorang isteri untuk melayani suaminya setiap saat. Kewajiban tersebut tidak boleh diabaikan dengan alasan melakukan amalan sunnah atau amalan wajib yang sanggup ditunda pelaksanaannya.” [9]
Jika isteri berkewajiban mematuhi suaminya dalam melampiaskan syahwatnya, maka lebih wajib lagi baginya untuk mentaati suaminya dalam urusan yang lebih penting dari itu, yaitu yang berkaitan dengan pendidikan anak dan kebaikan keluarganya, serta hak-hak dan kewajiban lainnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak suami lebih utama dari amalan sunnah, alasannya hak suami merupakan kewajiban bagi isteri. Melaksanakan kewajiban harus didahulukan daripada melakukan amalan sunnah.” [10]
Agama Islam hanya membatasi ketaatan dalam hal-hal ma’ruf yang sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh generasi terbaik, yaitu Salafush Shalih. Sedangkan perintah-perintah suami yang bertentangan dengan hal tersebut, tidak ada kewajiban bagi sang isteri untuk memenuhinya, bahkan ia berkewajiban untuk menawarkan pesan yang tersirat kepada suaminya dengan lemah lembut dan kasih sayang.

Sumber http://alifr0505.blogspot.com