Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

√ Penyebab Tsunami Di Selat Sunda, Mengapa Tidak Terdeteksi?

Konten [Tampil]
 Sebagian besar wilayah di pesisir Banten √ Penyebab Tsunami di Selat Sunda, Mengapa Tidak Terdeteksi?
Kerusakan tanggapan tsunami di Selat Sunda. Kredit: Tribun

Teknologi.id – Tsunami kembali melanda Indonesia. Sebagian besar wilayah di pesisir Banten, Lampung dan beberapa wilayah selat Sunda hancur porak poranda usai diterjang tsunami pada Sabtu (22/12) malam. Tepatnya, tiga kabupaten menjadi wilayah yang paling parah terkena efek tsunami, di antaranya Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Serang.


Data sementara yang berhasil dihimpun Posko BNPB hingga Senin (24/12/2018), pukul 07.00 WIB, tercatat 281 orang meninggal dunia, 1.016 orang luka-luka, 57 orang hilang dan 11.687 orang mengungsi. Kerusakan fisik mencakup 611 unit rumah rusak, 69 unit hotel-vila rusak, 60 warung-toko rusak, dan 420 perahu-kapal rusak.


Lantas, mengapa tsunami tersebut tidak dapat terdeteksi sehingga menjadikan kerugian jiwa dan bahan yang teramat banyak? Bahkan dari pernyataan awal Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa tidak terjadi tsunami di Selat Sunda, melainkan hanya gelombang pasang tinggi biasa.


Kombinasi erupsi dan pasang tinggi


Para mahir geologi dan geofisika setuju bahwa Tsunami yang yang menerjang Pantai Barat Banten dan Lampung dikarenakan oleh erupsi Anak Krakatau. Hal ini berdasarkan mahir menjadikan pergeseran tanah di bawah permukaan air laut.


Seperti dikutip dari SindoNews, aktivitas Gunung Anak Krakatau mengalami peningkatan semenjak 18 Juni 2018 dan erupsi terus terjadi. Pada tanggal 22 Desember, erupsi diduga menjadikan tsunami yang menerjang Banten dan Lampung.


Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan gosip Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi pukul 21.03 WIB. Aktivitas erupsi menjadikan terjadi longsoran bawah laut.


“Tanggal 22 Desember pukul 21.03 WIB menit, Badan Geoglogi mengumumkan terjadi erupsi lagi Gunung Anak Krakatau. Kemudian pukul 21.27 WIB tidegauge (pengamatan sementara) Badan Informasi Geospasial yang terekam oleh BMKG menawarkan adanya tiba-tiba ada kenaikan muka air pantai. Makara ada kenaikan air, dan kami analisis kami merekam waktu untuk menganalisis, apakah kenaikan air itu air pasang tanggapan fenomena atmosfer, ada gelombang tinggi lalu bulan purnama, jadi ketika ini itu memang pada fase menyerupai itu. Namun sehabis kami analisis lanjut gelombang itu merupakan gelombang tsunami, jadi tipe polanya sangat menyerupai gelombang tsunami yang terjadi di Palu,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Kantor BMKG, Jakarta, Minggu (23/12).


Faktor kedua yang diduga menjadikan tsunami yakni gelombang pasang lantaran bulan memasuki fase purnama. Gelombang pasang menjadikan permukaan air maritim meningkat.


“Jadi, jikalau statement resmi yang disampaikan BMKG, faktor penyebab tsunami yakni longsoran bawah maritim yang disebabkan acara Gunung Anak Krakatau, yang kebetulan terjadi bersamaan dengan gelombang pasang,” ujar Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.


 Sebagian besar wilayah di pesisir Banten √ Penyebab Tsunami di Selat Sunda, Mengapa Tidak Terdeteksi?
Erupsi Gunung Anak Krakatau bersamaan terjadinya pasang tinggi menjadi penyebab tsunami di Selat Sunda. Kredit: Viva

Sutopo menambahkan, fenomena tsunami di Selat Sunda termasuk langka. Letusan Gunung Anak Krakatau juga tidak besar. Tremor menerus namun tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigaikan.


“Tidak ada gempa yang memicu tsunami ketika itu. Itulah sulitnya memilih penyebab tsunami di awal kejadian,” tandasnya.


Artikel yang berhubungan: Indonesia Berduka, Tsunami di Selat Sunda Tewaskan Ratusan Jiwa


(DWK)



Sumber https://teknologi.id