Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

√ Idul Adha Dan Emansipasi

Konten [Tampil]
  • Oleh Jamal Ma’mur
IDUL Adha menjadi simbol konsistensi pengorbanan Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah SWT, yaitu menyembelih putranya, Ismail, yang diganti Allah dengan seekor domba dari surga. Dari pengorbanan Ibrahim kita menerima pelajaran berharga bahwa Allah sangat menghargai kemanusiaan sehingga mengharamkan segala bentuk tirani, manipulasi, diskriminasi, dan kriminalisasi.

Manusia ialah makhluk terbaik yang diciptakan Allah di muka bumi ini yang harus dihargai dan dihormati hak dan martabatnya. Inilah visi besar Islam dalam momentum Idul Adha untuk membangun struktur sosial yang egaliter, berkeadilan, dan berkeadaban. Perempuan dan pria tidak dibedakan. Perempuan berkurban seekor kambing untuk 1 orang, begitu juga laki-laki. Perempuan berkurban seekor sapi untuk 7 orang, begitu juga laki-laki.

Pada Idul Adha, wanita sebagaimana laki-laki, dianjurkan bertakbir, bertahmid, dan mengikuti shalat berjamaah. Spirit emansipasi ini menarik kita kembangkan untuk mewujudkan kesetaraan gender  yang selama ini termarginalkan dalam struktur sosial masyarakat yang masih dibelenggu oleh nilai patriarki yang bersumber dari warisan budaya lokal dan pemahaman agama yang langsung dan parsial.
Menurut Prof Dr Huzaemah T Yanggo (1996), semenjak 14 kala lampau, Quran menghapus diskriminasi pria dan perempuan. Memang ada kelompok yang masih membatasi tugas perempuan, terutama di sektor publik. Perempuan dianggap sumber fitnah dan malapetaka sehingga tak boleh tampil di depan publik. Kelompok ini memakai Quran dan hadis sebagai basis legitimasinya. Pemahaman tekstual, eksklusif, dan rigid melahirkan pandangan sempit.
Tidak Menghakimi
Adapun Agus Maftuh Abegebriel (2011) beropini pemahaman kontekstual ialah pemahaman yang melibatkan konteks historis, sosial, antropologis, budaya, ekonomi, dan politik secara konfrehensif. Said Aqil Siradj (1999) mencontohkan Surat An-Nisa’ 4:34 yang menjelaskan bahwa pria ialah pemimpin bagi kaum wanita dan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari menjelaskan ketidakberuntungan masyarakat yang dipimpin kaum perempuan, yang  dijadikan penghalang bagi kepemimpinan wanita di sektor publik.
Dua sumber itu, berdasarkan Said Aqil tidak menghakimi wanita secara total. Surat An-Nisa’ 4:34 dipahami dalam konteks keluarga, sedangkan hadis Nabi ditujukan pada kepemimpinan Ratu Buran, putri Anusyirwan yang dapat dipercaya kepemimpinannya diragukan. Menurut KH Hasyim Abbas (2004), ayat yang memperlihatkan dominasi pria sifatnya informatif bukan instruktif, sedangkan hadis yang melarang kepemimpinan wanita ialah ahadi (transmitornya terbatas) belum hingga tingkat mutawatir (disepakati hampir semua transmitor). Sesuatu yang bersifat informatif tidak berpengaruh dipakai landasan tetapkan aturan niscaya (haram-wajib).
Al-Baqarah 2:177 menjelaskan bahwa kebaikan seseorang ditentukan oleh dua hal, kesalehan ritual, menyerupai beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat, kitab-kitab Allah, para nabi, mendirikan shalat, serta kesalehan sosial, menyerupai memperlihatkan harta kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, pengembara, menepati janji, sabar dalam keadaan apapun, dan mengeluarkan zakat. Dua kesalehan ini tidak bisa dipisahkan dalam kepribadian umat Islam.
Jangan hingga fatwa sosial Quran dijalankan secara sporadis tanpa administrasi transpran, akuntabel, dan profesional.
Di sinilah urgensinya mengorganisasikan fatwa sosial Islam biar sempurna target dan berhasil optimal untuk memberdayakan kalangan lemah tertindas dan meningkatkan kualitas sumber daya umat biar bisa bersaing pada era global. Semoga Idul Adha ini menjadi momentum efektif dalam menggalang kolaborasi secara emansipatoris antara pria dan wanita untuk mewujudkan impian bersama yaitu kemakmuran dan kemajuan di muka bumi. (10)

— Jamal Ma’mur, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (Staimafa) Pati, mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang

Sumber http://mtsmafaljpr.blogspot.com