Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

√ Cerita Petani Cabe Dikala Harga Melonjak, Waw

Konten [Tampil]

Kabartani.com – Alexander Mengeanak, petani cabe asal desa Tesa Bela, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao, NTT, kini meraup laba ketika harga cabe melambung.


Dalam sebuah diskusi ringan dengan Timor Express (Jawa Pos Group) di kediamannya di Pantai Baru, kemarin, Alexander mengisahkan, beliau memulai usahanya pada tahun 1991.


“Sejak ketika itu saya menekuni perjuangan bercocok tanam cabe merah. Awalnya bibit yang saya dapatkan cuma dari orang lain,”ujarnya.


Baginya, bertani cabe tidak mudah. Butuh ketekunan dan kesabaran dikarenakan cabe gampang diserang hama dan harganya pun tidak stabil, sering pasang surut.


“Jadi kalau harga naik ya kita senang, tapi kalau harga turun, penghasilan kita pun ikut menurun,” tambahnya.


Alexander Mengeanak mempunyai lahan cabe seluas 4 hektare, dan selama ini beliau dibantu oleh 6 orang pekerja yang merupakan saudaranya.


Baginya, bertanam cabe hanyalah pekerjaan sampingan. Karena, mereka fokus dengan tanaman padi di sawah.


“Setelah padi dipanen gres kami menanam cabe di lahan tersebut. Jadi, cabe bukanlah tanaman andalan kami. Ini alasannya yaitu harganya yang tidak stabil. Jika ada hama dan harganya merosot, kami rugi,”ujarnya.


Namun kerugiannya selama ini, terbalasakan ketika harga cabe melambung tinggi menyerupai kini ini. Dia tidak sanggup membayangkan, harga cabe tiba-tiba melonjak.


Rata-rata laba yang diperolehnya sebulan mencapai Rp 80 juta. Namun kalau turun, maka manfaatnya hanya berkisar Rp 20 juta saja.


Dia cerita, sering panen seminggu sekali. Saat harga melambung, sekali panen meraup Rp 20 juta. Makara seminggu 20 x 4 = Rp 80 juta, laba bersih. Kalau harganya turun sanggup Rp 5 juta sekali panen. Makara 5 x 4 = Rp 20 juta.


Dia kemudian mengkalkulasikan, kalau harganya terus melonjak, maka dalam satu musim, beliau sanggup memanen Rp 480 juta.


“Itu biasanya berlangsung enam bulan. Kalau harganya turun, saya hanya sanggup mampu Rp 80 juta per demam isu saja,” ungkap Alexander.


Ketika diajak berdiskusi lebih jauh mengenai apa pemanfaatan dari laba yang diraupnya, beliau menegaskan, “Saya memanfaatkannya untuk pendidikan belum dewasa saya.”


Alexander menikahi Matsaida Lusi pada tahun 1981, dan dari ijab kabul itu lahirlah tiga orang putri. Ketiganya kini berhasil mengenyam pendidikan tinggi berkat bercocok tanam cabe yang ditekuninya.


Putri pertamanya berjulukan Naomi Mengeanak. Dia yaitu magister Administrasi Publik tamatan Undana Kupang.


Putri keduanya Rut Mengeanak, juga magister Teknik Informatika tamatan Unika Atmajaya Yogyakarta.


Sementara putri bungsunya Apriani Mengeanak mengenyam pendidikan S1 Tehnik Sipil di Unwira Kupang.


Diakui, masih banyak petani cabe yang membutuhkan sentuhan pemerintah. Karena itu beliau meminta kepada pemerintah kawasan semoga memperlihatkan perhatian berupa santunan modal semoga mereka pun sanggup mencicipi sukses yang beliau rasakan.


Masyarakat masih butuh santunan berupa pompa air dan traktor. “Saya juga meminta pemerintah semoga tetap mengontrol harga cabe supaya stabil,”pungkasnya.



Sumber https://kabartani.com