√ Penerapan Teknologi Sawah Apung (Floating Field) Daerah Banjir
Kabartani.com – Desa Ciganjeng, Padaherang, Kab Pangandaran, ini sudah puluhan tahun populer sebagai langganan banjir yang parah di Jawa Barat. Dari 420 hektare hamparan sawah milik warga, sekitar 380 hektare diantaranya selalu tergenang luapan sungai Citanduy. Karena begitu luasnya tidak seidikit orang yang menduga genangan air ini sebagai danau.
Tahun 2009, banjir tidak surut selama dua animo secara berturut-turut hingga kerumah warga sehingga memaksa mereka mengungsi. Karena merupakan daerah cekungan luapan air di Ciganjeng menjadi banjir permanen. Kondisi ini sangat merepotkan penduduk alasannya ialah daerah banjir itu merupakan lahan sawah mereka satu-satunya.
Melihat kondisi ini, Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) tergugah menolong warga Ciganjeng, sebelumnya pada tahun 2006, IPPHTI secara intensif telah melaksanakan pemulihan lahan di pesisir selatan jawa.
Pada animo hujan tahun 2010, IPPHTI melaksanakan beberapa percobaan sawah apung di desa Rawa Apu. Pada animo hujan tahun 2012, LSM ini mulai berkomunikasi dengan petani korban banjir di Ciganjeng untuk mencoba sawah apung pada skala yang lebih luas.
Dengan biaya operasional sebagian besar ditanggung IPPHTI, sawah apung juga didukung pegawapemerintah desa, tokoh masyarakat dan petugas pertanian. IPPHTI sendiri dibuat oleh para alumni SLPHT, anggotanya murni para petani penggarap, termasuk yang ada di Pangandaran.
Langkah pertama ialah melatih para petani biar memahami teknologi sawah apung. Para petani menerima sejumlah ilmu dari IPPHTI selama beberapa minggu.
Sesuai konsep IPPHTI, learning by doing dan motto JOS (Jangan Omong Saja) bersamaan dengan pemahaman petani perihal ekosistem sawah pada daerah banjir, maka bambu sebagai materi utama rakit mulai disiapkan. Rakit inilah yg akan menopang media flora ditengah banjir. Mereka menciptakan 98 rakit dengan ukuran 2 x 5 meter ukuran ini dibuat untuk mempermudah mereka dalam perawatannya.
Seletah rakit terbangun di tengah banjir, petani menempatkan media flora di bab atasnya, komposisinya terdiri dari sabut kelapa, jerami dan tanah. Untuk mencegah rakit tenggelam, ketebalan media hanya dibuat antara 3-5 cm saja.
Sawah apung merupakan teknik pertanian yang rawan gelombang air dan sekaligus pembersihan nutrisi tanaman, apalagi bila lahannya sangat luas menyerupai di Ciganjeng ini, solusinya padi harus ditanam dengan tumpuan intensif atau sistem organik, alasannya ialah bila tidak alhasil sanggup dipastikan tidak memuaskan.
Sesuai mekanisme penanaman padi organik tumpuan IPPHTI, bibit tidak ditanam secara bergerombol, tapi cukup satu anakan saja alias tanam tunggal. Sedangkan pupuk organik cair dicampurkan pada media flora atau disemprotkan pada daunnya bila flora padi sudah besar.
Keuntungan budidaya padi sawah apung ialah tidak perlu membajak lahan, sawah apung juga tidak perlu penyiangan, alasannya ialah rumput dan gulma hampir tidak tumbuh ditempat menyerupai ini. Selain itu tidak butuh pupuk kimia ataupun pestisida sintetis, alasannya ialah cukup dengan MOL buatan petani sendiri.
Semula banyak warga Ciganjeng yang merasa skeptis terhadap sawah apung, beberapa diantara mereka bahkan mencemooh dan menyebut Kelompok Taruna Tani Mekar Bayu absurd dan kurang kerjaan alasannya ialah menanam padi di areal banjir.
Bagaimanapun, sawah apung bukanlah pertanian tanpa masalah, tapi yang namanya hama tetap saja menyerang, menyerupai keong mas, belalang, walang sangit dan sebagainya. Petani kembali memakai pendekatan organik untuk mengendalikan hama ini, salah satu caranya dengan memanfaatkan perasan daun pepaya.
Anehnya meski berada ditengah banjir, sawah ini masih diserang hama tikus. Tikus menyerang ketika air surut dan bersembunyi di atap saung sekitar sawah apung. Petani terpaksa memakai air seni dari kambing dan sapi untuk menghalau tikus, alhasil tikus tak mendekat lagi.
Persoalan lain ialah gelombang atau ombak, alasannya ialah luas genangan lebih dari 400 hektare ombak yang dihasilkan cukup besar, selain sanggup menghanyutkan nutrisi flora tapi sebagian flora padi sendiri juga ikut hanyut. Untuk mengatasi ini petani menciptakan anjungan pemecah ombah dari bambu.
Konsep dasar sawah apung ialah pembiasaan antara ketinggian flora padi dengan permuakan air. Manakala banjir menyurut, padi akan ikut menurun permukaannya, dan sebaliknya manakala banjir meninggi, permukaan ikut meninggi.
Setelah melalui usaha yang berliku, masa yang dinantikan pun tiba. Pertengah maret 2013 kemudian mereka panen perdana. Hasil sawah apung ternyata tidak mengecewakan, dari setiap rakit yang berisi 160 rumpun rata-rata menghasilkan 5,5 kg gabah, itu artinya sama dengan 6,2 ton gabah per hektare, sebuah hasil yang setara dengan produksi padi pada sawah daratan.
Berikut Video selengkapnya:
IPPHTI berharap langkah mereka sanggup menginspirasi banyak pihak untuk mengikuti jejaknya dan bahkan sanggup ikut membuatkan teknik sawah apung menjadi sebuah sistem pertanian alternatif di wilayah-wilayah banjir.
Sumber https://kabartani.com