Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

√ Pola Resensi Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi

Konten [Tampil]

Contoh Resensi Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi – Berkut merupakan referensi resensi novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi!


Judul: Negeri 5 Menara

Pengarang: A. Fuadi

Bahasa: Indonesia

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: Tahun 2009

Jumlah Halaman: XII + 423 halaman

ISBN: 978-979-22-4861-6

Kota Terbit: Jakarta

Harga: Rp 50.000,00


Novel berjudul Negeri 5 Menara karangan A. Fuadi merupakan Novel pertama dari trilogi negeri 5 menara. Trilogi Negeri 5 Menara terdiri atas 3 novel diantaranya yakni Negeri 5 Menara, Rantau 1 Muara, dan ranah 3 Warna. Negeri 5 Menara merupakan karya fiksi berbentuk novel yang mengisahkan wacana kisah seorang anak pria yang merantau dari Sumatera Barat di tempat Danau Maninjau menuju Ponorogo Jawa Timur. Perantauan ini bermula dikala anjuran amak (ibu Alif) yang berkeinginan berpengaruh biar alif meneruskan pendidikannya di pondok Pesantren Madani di Jawa Timur. Keinginan amak ini bertentangan dengan keinginan Alif yang mempunyai harapan berkuliah di ITB. Jika ingin berkuliah di perguruan tinggi negeri ternama, ia harus menempuh pendidikan menengahhnya di SMA. Menurut Alif, jikalau ia meneruskan pendidikannya di pondok pesantren, maka cita-citanya menjadi menyerupai mantan presiden B.J. Habibie akan sirna. Memang demikian jikalau keinginan amak dan Alif bertentangan. Amak begitu menginginkan anaknya menjadi Ulama menyerupai bunya HAMKA, sedangkan Alif ingin menjadi ilmuan menyerupai Habibie. Alif menolak keinginan amak dengan tegas. Namun dengan bujukan ayah, akibatnya Alif pun luluh dan mengikuti kemauan amak dengan setengah hati.


Keberangkatan Alif menuju Pondok Pesantren Madani di Jawa Timur ditemani oleh ayahnya. Sepanjang perjalanan Alif berpikir menyerupai apa jikalau ia menjalani sesuatu yang bukanlah keinginannya. Sesampainya di Pondok Madani , Alif terkejut dengan segala peraturan dan kegiatan di Pondok. Semua tertata dengan rapi dan penuh dengan kedisiplinan.Di sana Alif menemui teman-teman yang berasal dari banyak sekali kalangan dan etnis. Alif semakin mengagumi sistem pendidikan di Pondok tersebut. Namun dalam hati kecilnya, ia belum bisa mengubur keinginannya untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengan Atas dan meneruskannya ke ITB Bandung.


Dalam perjalanan hidup Alif di Pondok Madani, terdapat beberapa orang sahabat yang membersamainya. Mereka ialah Raja Lubis dari Medan Sumatera Barat, Dulmajid dari Sumenep, Madura, Baso Salahudin dari Gowa, Sulawesi, Atang Yunus dari Bandung, Jawa Barat, dan Said Jufri dari Surabaya, Jawa Timur. Dalam keseharian Alif, ditemani oleh sahabat-sahabat yang amat menyayanginya. Suatu dikala mereka duduk-duduk santai di bawah menara besar erat komplek masjid. Tanpa sadar mereka memandangi awan semenjak tadi, dan awan-awan itu membentuk sebuah pola Negara menurut perspektif mereka masing-masing. Berdasarkan perspektif itulah mereka berkeinginan berpengaruh untuk menuju tempat itu. Atang berkeinginan untuk pergi ke Mesir, Raja ingin ke London, Alif ingin ke Amerika dan Said, Dulmajid, serta Baso ingin tetap di Indonesia. Mereka sering sekali duduk-duduk di bawah menara besar masjid Madani, sebab begitu seringnya mereka melaksanakan acara di bawah menara maka mereka dijuluki dengan sebutan sohibul Menara, yang berarti “yang punya menara.”



style="display:inline-block;width:336px;height:280px"
data-ad-client="ca-pub-9290406911233137"
data-ad-slot="2698768695">


Pada suatu dikala menginjak tahun kedua kebersamaan 5 sahabat menara, tiba-tiba Baso Salahudin memutuskan untuk pergi dan pulang ke kampong halamannya di Gowa. Alasan kepulangannya ialah sebab pertimbangan ekonomi dan neneknya yang tinggal sendiri di Gowa. Ia harus mengurus neneknya yang sedang sakit. Alasan mengapa selama setahun ini tak ada seorangpun yang menengok Baso di Pondok Madani ialah sebab Baso sudaj tidak mempunyai orang bau tanah kandung. Ia hanya hidup sebatang kara bersama neneknya. Atang, alif, Said, dan Dulmajid kaget mendengar hal ini. Mereka sama sekali tidak tahu kalau Baso tidak mempunyai orang tua. Alasan mengapa Baso terobsesi dengan hafalan 30 Juz nya tidak lain ialah sebab ia menginginkan jubah kemuliaan disematkan oleh Allah kepada orang tuanya yang sudah tiada. Sohibul menara berpelukan menahan haru yang luar biasa dan tak kuasa menahan tangis sebab perpisahan yang begitu mengejutkan.


Kelebihan yang terdapat dalam novel ini terletak pada gaya bahasa pengarang yang lugas dan menarik. Mengingat latar belakang pengarang yang seorang jurnalis, maka tidak mengherankan jikalau penggambaran dongeng dilakukan dengan cara yang sangat baik. Penulis menggambarkan wacana aspek kultural di pondok pesantren yang kental dengan nilai-nilai religious dan menepis anggapan bahwa santri hanya bisa mengaji dan ceramah. Banyak hal yang bisa didapatkan dari mencar ilmu di pondok pesantren. Kisah dalam novel ini terinspirasi dari pengalaman eksklusif penulis yang dituangkan pada tokoh Alif fikri yang semula begitu terpaksa mencar ilmu di pondok pesantren namun pada akibatnya ia mencicipi banyak manfaat yang didapatkannya.


Kekurangan pada novel ini terletak pada konflik dongeng yang hanya ditonjolkan pada kontradiksi batin Alif Fikri. Konfliknya hanya terletak pada rasa terpaksanya alif yang mengikuti kemauan amaknya untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Sedangkan ia berkeinginan melanjutkan ke SMA. Dinamika pada novel ini terasa sangat datar , pembaca menyerupai melihat catatan harian yang dikemas menjadi karya fiksi.


Novel negeri 5 Menara merupakan cerminan dari acara kehidupan sehari-hari para santri pondok pesantren. Tentu hal-hal kasatmata terutama aspek religius sanggup diambil dalam buku ini. Buku ini layak dibaca oleh para akademisi, orang tua, pelajar, dan para pengasuh pondok pesantren serta para santri tentunya.



Sumber https://www.kakakpintar.id